Sabtu, 20 November 2010

Jihad Akbar Sang Imam

  Imam Ahmad bin Hambali

E-mail Print PDF
Ucapan-ucapan Imam Hambali tidak menghentikan cambuk sang algojo hingga lebih 20 cambuk menghantam punggungnya

Oleh Akbar Sang Iman

INI bukan kisah ulama yang menyebut dirinya pejuang,  namun takut akan aroma kematian. Ini bukan penggalan cerita tentang pembela kebenaran yang ciut di hadapan taji penguasa. Ini bukan dongeng tentang sosok manusia yang menyebut dirinya pejuang umat, tetapi berdiam diri melihat agama diobok-obok, kebenaran dijungkirbalikkan, kebatilan dibiarkan menjadi dasar Negara. Ini tentang istiqomah, kesabaran, dan kecintaan pada negeri akhirat.

Dialah panutan sejuta umat. Mazhabnya menjadi pegangan Arab Saudi saat ini. Ia menghafal 700.000 hadits, kemudian menyeleksi dan merangkumnya menjadi 30.000 hadits dalam kitabnya al-Musnad. Ia mengilhami Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhabi pada 4 dan 10 abad setelah wafatnya. Dialah penantang tiga khalifah Abbasiyah sesat demi kebenaran. Tidak ada yang tidak mengenalnya, dialah Imam Ahmad bin Hambali pendiri mazhab Hambali.

Imam Ahmad lahir di Baghdad, pada Rabiul Awal 164 H (Desember 780 M) dalam kondisi yatim dan kemiskinan yang melilit. Masa kecilnya ia habiskan dengan belajar Islam dan menghafal al-Qur’an hingga hafizh pada usia 15 tahun. Minatnya yang tinggi dan daya hafalnya yang kuat mendorongnya untuk bekerja keras menuntut ilmu walaupun harus menjadi kuli.

Setelah menghafal al-Qur’an, Ahmad kecil sangat tertarik mempelajari hadits, maka mengembaralah ia ke kota-kota jauh bertemu dengan ahli hadits di Basrah, Kufah, Yaman, Mekkah, dan Madinah. Awalnya ia belajar ilmu fiqh pada Abu Yusuf, kemudian bertemu dengan Imam Syafi’i dan belajar fiqh kepadanya.

Kecintaan dan konsentrasinya dalam belajar membuat ia tidak terburu-buru untuk membangun rumah tangga. Saat usianya menginjak 40 tahun, barulah ia menikah. Membangun keluarga dan keturunan. Anda mungkin takjub, namun bukan ini yang akan kita buka dari lembaran hidup emas Imam Hambali. Mihnah (cobaan) yang diterima sang Imam inilah yang akan membuat kita tercengang dan mudah-mudahan menjadi pecut untuk kehidupan kita.

“Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil,” kata seorang ulama, al-Maimuni.

Padahal Imam Hambali telah dikenal di penjuru negeri dan memiliki banyak murid dan pengikut. Realitanya ia  wara’ dan zuhud dari kehidupan dunia sehingga ia mengandalkan hasil keringatnya sendiri untuk makan dan kebutuhannya sendiri tanpa meminta dan berharap secuil pun bantuan dari penguasa.

Inilah komentar Imam Syafi’I;

“Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’, dan Imam dalam Sunnah.”

Sekarang marilah kita menelisik lebih dalam tentang kadar keimanan yang dimiliki oleh sang Imam. Sinar yang membedakannya dari ulama lain, dari manusia lainnya di zamannya atau bahkan yang membuatnya terus bersinar hingga saat ini jauh lebih benderang dari ulama pejuang yang pernah muncul di muka bumi.

Satu zaman sebelum Imam Hambali, saat khalifah dipegang oleh Harun ar-Rasyid, berbagai macam pemikiran, pemahaman dan aliran dalam Islam mulai berkembang dengan segala bentuknya. Salah satu yang membahayakan akidah Islam saat itu adalah pemikiran Islam liberal yang dikenal sebagai Jahmiyah atau Mu’tazilah. Sebuah pemahaman yang lebih mendahulukan akal dan rasionalitas di atas wahyu Allah. Kontan terjadi perdebatan dan konflik sengit yang tak urung memakan korban jiwa.

Pemikiran sesat liberal saat itu diusung oleh Basyar al-Marisy yang mengklaim bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Syukurlah saat itu khalifah Harun ar-Rasyid berpegang erat dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ia melarang tegas pemikiran liberal berkembang bahkan memburu pemimpinnya untuk dihukum mati.

"Sekiranya Allah memberiku usia yang panjang dan aku sempat bertemu Basyar, niscaya ia akan aku hukum bunuh dengan pembunuhan yang tak pernah aku jatuhkan atas orang lain," kata khalifah berang.

Selama 20 tahun Basyar bersembunyi dan menyebarkan aliran pemikirannya secara diam-diam. Sepeninggal Khalifah Harun, yakni Khalifah al-Amin, kebijakan negara tetap melarang keras pemikiran sesat Basyr. Barulah setelah al-Amin, saat al-Makmun memegang kendali kekuasaaan sebagai khalifah, pemikiran liberal-Mu’tazilah mulai masuk di lingkaran kekuasaan.

Siapa yang mampu mempengaruhi penguasa dialah yang menang di dunia. Selain karena pengaruh Mu’tazilah, khalifah al-Makmun ketika masih muda sangat menyukai belajar filsafat dan pemikiran Yunani. Inilah yang meracuni pemahamannya sehingga ia mengutamakan akalnya di atas wahyu Allah.

Basyar dan pengikutnya berhasil mendekati al-Makmun secara diam-diam dan rupanya melakukan komunikasi intensif sehingga jatuhlah khalifah dalam perangkap kesesatan Mu’tazilah. Akibatnya, pada tahun 212 H, kebijakan Negara pun mendukung pendapat Basyar yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, bukan wahyu Allah Ta’ala. Ancaman besar mendera Islam. Selain itu beberapa kebijakan al-Makmun cenderung memihak aliran Syi’ah sehingga banyak menimbulkan konflik dan kekisruhan. Siapakah yang berani menentang penguasa?

Jika sebelumnya ‘ulama-ulama’ sesat yang diancam hukuman mati, kini justru sebaliknya, ulama-ulama yang teguh berpegang pada al-Qur’anlah yang mendapat hukuman siksaan tiada tara. Inilah dampak jika kita membiarkan penguasa terpengaruh oleh pemikiran yang sesat, seluruh umat mendapatkan fitnah cobaan iman dan kesabaran.

Pada tahun 218 H barulah pernyataan al-Qur’an sebagai makhluk ditegakkan. Siapa yang menolaknya akan mendapatkan hukuman. Segera dilakukan penangkapan besar-besaran terhadap ulama-ulama yang menentang kebijakan Negara. Mereka di penjara, disiksa, dan diancam hukuman mati. Pada dasarnya terdapat keringanan dalam Islam untuk mengakui atau mengikuti keinginan penguasa demi mempertahankan nyawa. Semua yang disiksa akhirnya memilih keringanan ini, mengakui dengan lisan, namun mengingkari dengan hati. Hanya segelintir ulama yang bertahan, hati dan lidah tetap tegas mengatakan bahwa al-Qur’an adalah wahyu, bukan makhluk, di antaranya dialah Imam Hambali.

Seorang ulama, Maimmun bin al Ashbagh, yang menyaksikan prosesi penyiksaan Imam Hambali bertutur,

"Saya datang menghadiri majelis pengadilan negara yang akan memeriksa perkara Imam Hambali. Dalam majelis pengadilan itu terlihat pedang-pedang telah dihunuskan, tombak-tombak telah ditegakkan, panah-panah telah disiapkan, dan cambuk siap diayunkan untuk Imam Hambali. Khalifah al-Ma'mun lalu duduk di atas kursi yang telah disiapkan di balai persidangan. Imam Hambali dipanggil menghadap kemudian khalifah berkata, “Atas nama saya sebagai kerabat Rasulullah saw saya akan memukul engkau dengan cambuk sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau engkau menyatakan seperti apa yang saya katakan.”

"Cambuk dia!" perintah khalifah pada algojo.

Sang Algojo segera bertindak tanpa ragu. Imam Hambali diseret lalu dicambuk. Cambukkan pertama tepat mengenai punggung beliau.

"Bismillah.."ucap Imam Hambali menahan sakit.

Pada cambukkan yang kedua beliau mengucapkan kalimat, "Laa haula wala quwwata illa billah."

Pada cambuk yang ketiga dengan lantang beliau berucap, "al-Qur'an kalamullahi ghairu makhluqin!"

Mendaratlah cambuk yang keempat dan kali ini beliau bahkan sempat membacakan ayat al-Qur’an, "Qul lan yushiibanaa illa ma kataballah lana!"

Ucapan-ucapan Imam Hambali tidak menghentikan cambuk sang algojo hingga lebih 20 cambuk menghantam punggungnya. Darah segar pun mengucur dan menetes di lantai. Khalifah tidak merasa iba sedikit pun. Kezaliman mendera kebenaran, kebatilan tertawa-tawa di atas keimanan, inilah ujian Allah yang hanya bisa dihadapi oleh hamba-hamba-Nya tertentu.

Imam Hambali sadar bahwa ia harus bertahan dan menggigit kuat keimanan dengan gigi gerahamnya. Ia sadar ia pegangan umat terakhir. Jika ia mengakui, maka ribuan bahkan ratusan ribu umat di belakangnya akan ikut pula mengakui kesesatan penguasa.

Cambukkan algojo membuat tali sarung sang Imam putus hingga sarungnya hampir melorot. Saat itu yang ada dipikiran Imam Hambali bukan bagaimana bisa mendapat keringanan atau ampunan, yang berkecamuk dalam pikirannya adalah bagaimana jika auratnya terlihat di muka umum. Hanya itu yang dipikirkan beliau. Dalam kondisi terzalimi, doa yang dipanjatkan beliau hanyalah doa agar celananya tidak melorot sehingga auratnya tidak terbuka. Doa itu dikabulkan sehingga sarungnya terjaga tidak turun hingga ia dikembalikan ke dalam penjara dengan kondisi yang memprihatinkan

Banyak sahabat dan orang-orang yang prihatin dengan kondisi Imam Hambali, meminta beliau untuk mengikuti saja keinginan penguasa. Apa jawab beliau?

“Bagaimana kalian menyikapi sabda Rasulullah Saw, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya.’

Aku tidak peduli dengan penjara, bagiku penjara dan rumahku sama saja!”

Keteguhan Imam Hambali seperti dikomentari seorang ulama Ishak bin Ibrahim,

“Aku belum pernah melihat seseorang yang berada di depan penguasa di mana ia lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal. Kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat.”

Apa yang membuat sang Imam begitu tegar?

“Semenjak terjadinya fitnah, aku belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku,

‘Wahai Ahmad, jika Anda terbunuh karena kebenaran maka Anda mati syahid, dan jika Anda selamat maka anda hidup mulia!’. Mendengarnya membuat hatiku semakin kuat.”

Kesabaran sang Imam tidak mampu digoyang oleh penguasa yang kekuasaannya saat itu telah menaungi negeri Iran di Timur hingga Maroko di Barat. Sampai akhirnya Khalifah al-Makmun wafat dan digantikan oleh al-Mu’tashim. Kebijakan Negara pun belum berubah hingga wafat pula al-Mu’tashim digantikan oleh al-Watsiq sebagai khalifah.

Sepanjang tiga periode kekhalifahan Abbasiyah dari al-Makmun, al-Mu’tahsim, dan al-Watsiq, paham liberalisme begitu kuat mencengkeram pemikiran khalifah sehingga fatwa al-Qur’an adalah makhluk terus berdendang. Padahal sangat besar dampak buruknya jika al-Qur’an dikatakan sebagai makhluk. Tentu al-Qur’an tidak sempurna, bisa salah dan bisa benar, itulah yang difatwakan Mu’tazilah untuk menghancurkan Islam.

Saat kekhalifahan dipegang al-Mu’tashim, kepala ulama pemerintah (semacam MUI) dipegang oleh Ahmad bin Abu Dawud, seorang Mu’tazilah. Terjadi perdebatan sengit antara Imam Hambali dan Ibnu Abu Dawud. Semua argumentasi Ibnu Abu Dawud bisa dipatahkan oleh sang Imam, namun penguasa tetaplah penguasa yang otoriter dan tidak mau mengakui kesalahannya.

"Wahai amirul mu'minin, berikan dan ajukanlah kepadaku suatu alasan yang terang berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah, biar nanti aku sadar dan insaf, lalu aku ikut mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk. Bagaimana aku harus mengikuti pendapat dan pendirian orang lain yang tidak didasari alasan yang benar?" ungkap Imam Hambali sebelum akhirnya ia meringkuk lagi di penjara.

Pada masa al-Watsiq Imam Hambali tetap terkungkung di penjara. Bahkan seorang ulama Ahmad bin Nashr dipancung dan tubuhnya disalib selama 6 tahun lamanya karena penolakannya terhadap fatwa sesat pemerintah.

“Sebenarnya yang berbohong adalah kamu sendiri!” ungkap Ahmad tegas pada khalifah. Orang-orang Mu’tazilah yang berada di sekitar khalifah lantas menyatakan kehalalan Ahmad untuk dihukum mati. Saat khalifah al-Watsiq wafat barulah jasadnya diturunkan oleh Khalifah Mutawakkil dari tiang salib di Samura.

Selain Ahmad bin Nashr, seorang murid utama Imam Syafi’i yang bernama al-Buwaithi juga wafat dipenjara karena penolakannya terhadap fatwa sesat penguasa. Ia wafat dalam keadaan terikat di dalam penjara. Kini hanya tinggal Imam Hambali yang meringkuk dalam penjara yang kejam. Tidak beberapa lama lagi pertolongan Allah tiba untuk menyudahi ujian-Nya kepada hamba pilihan-Nya.

Khalifah al-Mutawakkil menggantikan al-Watsiq yang wafat pada tahun 232 H. Ia sangat dekat dengan ahlus Sunnah sehingga pada tahun 234 H, ia mencabut fatwa bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Maka bebaslah Imam Ahmad bin Hambali menghirup udara segar di mana jutaan umat telah menanti nasihat dan ilmunya.

Khalifah lantas melakukan tindakan balasan terhadap kaum Mu’tazilah. Semua pejabat sesat yang berkuasa sebelumnya, ia singkirkan dan dihukum keras. Salah satunya seorang Hakim Agung Mesir yang juga gembong Mu’tazilah, Abu Bakar bin al-Laits. Jenggotnya dicukur habis, dipukul kemudian digelandang keliling kota dengan keledai.

Hampir 16 tahun Imam Hambali menjalani fitnah kesesatan yang dilancarkan Mu’tazilah liberal. Betapa dahsyatnya mereka mengobok Islam saat mereka mampu mempengaruhi kekuasaan. Itulah mengapa pentingnya ulama yang lurus harus terlibat dalam kancah politik untuk bisa mempengaruhi penguasa sehingga mengeluarkan kebijaksanaan yang sejalan dengan Islam yang benar.

Kini Imam Hambali bisa tidur kembali di rumahnya yang kecil namun penuh ketenangan dan ketentraman. Benarkah ia mendapatkan ketenangan dan selesai dari ujian Allah. Ternyata tidak. Ujian Allah kembali datang namun dalam bentuk yang lain. Khalifah al-Mutawakkil sangat mencintai ulama dan ia memberikan banyak hadiah dan penghormatan kepada Imam Hambali. Datanglah khalifah membawa 10.000 dinar (ratusan juta rupiah) untuk diberikan kepada sang Imam. Apa tanggapan beliau?

”Aku telah selamat dari bahaya mereka selama ini, tetapi saat ajal saya sudah hampir datang seperti saat ini, aku diuji oleh mereka dengan harta benda dan dunia mereka.”

Saat khalifah pulang, ia segera membagikan semua pemberian khalifah kepada orang-orang di sekitarnya dan yang membutuhkan tanpa secuil ia ambil. Pakaian kehormatan khalifah dilepaskannya kembali dan digantikannya dengan pakaian lusuh yang biasa ia pakai.

”Ini tidak lain hanyalah fitnah dunia, dan penderitaan pada masa lalu itu adalah fitnah bagi agama.”

Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami.”

Popularitas Imam Hambali memuncak, sinarnya keimanannya menyilaukan mata, namun apa kata hati beliau?

 “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas.”

Imam Hambali pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan,

“Semoga Allah membalasmu atas kebaikan dan jasamu kepada Islam.”

 “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Dialah sang Imam yang tegar dan teguh dalam jihadnya mempertahankan kebenaran sekalipun di depan penguasa. Siapakah yang menyerupainya di zaman ini? Bahkan ulama-ulama saat ini yang mengaku sebagai pengikutnya, sebagai salafush shalih di Arab Saudi, tidak berani sedikit pun mengkritik rajanya yang begitu mesra dengan Amerika dan Israel yang membantai muslimin di berbagai belahan dunia.

Menjelang akhir hayatnya, Imam Hambali sakit keras selama sembilan hari lamanya. Pada pagi hari Jumat tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun beliau menghembuskan nafas terakhirnya menghadap Allah Ta’ala. Jenazah beliau dihantar lebih lima ratus ribu muslimin di Bahgdad. Maha Suci Allah.[nugra, berbagai sumber/hidayatullah.com]

  1. Bencana Ini Hanya Musibah atau Azab?
  2. Sederhana, Pilihan Hidup Mulia
  3. Enam Taubatnya Anggota Tubuh


Share
|





ROAD SIDE 2 ISLAM DAWAH PROJECT

Racquell Hayden-Best 20 November jam 1:14 Balas Laporkan
Assalaamu alaikum,
Khushoo is the most important aspect of salaah, and has to be present before it is accepted. It literally means submission, humility, humbleness or tranquillity. Without Khushoo the heart cannot easily be purified, Allah has said in the Qur’aan:

“Successful indeed are the believers: those who offer their prayers with Khushoo (soleminity and full submissiveness.) (Al- Mu’minoon 23:1-2)

BEFORE SALAH
1- You should know your Lord very well. Knowing the one you worship makes you a better worshipper. Having clear and authentic knowledge about Allah increases His love in our hearts. With his love increased so does your imaan.
2- Reciting the Qur’an frequently and consistently softens the hearts and prepares it for Khushoo. Hard hearts do not gain Khushoo.
3- Minimize attachment to worldly matters. Having intentions towards the Afterlife helps against the temptations of life.
4- Avoid excessive laughter and useless arguments as they harden the heart.

DURING SALAAH
1- When you stand facing the Qiblah remember the following:
a. It might be your last ever salaah in your life! There is no guarantee to live longer to catch the next Salaah!
b. You are standing between the hands of Allah, the Lord of the worlds, THE ONE WHO HAS BLESSED YOU WITH EVERYTHING YOU HAVE. How can you be busy with something else on your mind??
c. The angel of death is chasing you. The only guarantee in this life is death..So we should spend every minute preparing for it!
3- Keep your eyes focused on the place of sujuud. This helps you gain more concentration.
6- Recite the Qur’an slowly and reflect upon its meaning deeply.
7- When you prostrate, remember that this position brings you closer to Allah. Take this as an opportunity to make sincere du’aa..

AFTER SALAAH
When you praise Allah, thank Him from the bottom of your heart that you have experienced the beauty of Salaah in your heart. Getting used to this habit prepares your for the next Salaah, as you will always be eager to focus in your prayer.

Insha’Allah One perfection leads to another perfection. If someone perfects his Salaah once, he would be motivated to continue on the same level.




Share
|





SEJARAH DARWINISME

SEJARAH SINGKAT DARWINISME

Sebelum menelaah berbagai penderitaan dan bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia, marilah kita mempelajari sejarah Darwinisme secara sekilas. Banyak orang percaya bahwa teori evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya. Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia, saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah kepercayaan tentang "evolusi". Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu. Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain, menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan berkembang.
Kita dapat memahami betapa kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: "makhluk hidup berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup." Dari sini kita dapat memahami bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa Sumeria penyembah berhala.

Gambar yang memperlihatkan dewa air bangsa Sumeria. Sebagaimana masyarakat Sumeria, para Darwinis juga meyakini bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari air. Dengan kata lain, mereka menganggap air sebagai tuhan yang menciptakan kehidupan.
Di kemudian hari, mitos evolusi tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya. Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno. Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru, Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut dalam bukunya The Origin of Species, yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil, khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya telah memberikan landasan berpijak ilmiah - yang dahulunya belum diketemukan- bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.

Sebagaimana masyarakat penyembah berhala, para pengikut Darwin percaya bahwa kehidupan muncul secara kebetulan di dalam air akibat pengaruh alam. Menurut pernyataan yang tidak masuk akal ini, atom-atom yang tidak memiliki kecerdasan yang terdapat dalam "sup purba", sebagaimana tampak pada gambar, bertemu untuk kemudian saling bergabung dan membentuk makhluk hidup.
Alasan Ideologis Penerimaan Darwinisme
Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.

Dibandingkan yang ada sekarang, mikroskop abad ke-19 sangatlah kuno dan, karena-nya, sebagaimana terlihat pada gambar, hanya dapat menampakkan sel sebagai bintik-bintik noda.
Demikian pula, catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut dengan berdalih, "Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang." Tetapi, mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab "Kekeliruan Teori Evolusi")
Apapun yang terjadi, keyakinan para Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun, pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan 'ilmiah' yang diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai ideologi materialistis abad ke-19: "Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah."
Kaitan erat Darwinisme dengan ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia diungkap dengan jelas dalam bagian ini.
Darwinisme Sosial : Penerapan Hukum Rimba Dalam
Kehidupan Manusia

Charles Darwin
Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah "perjuangan untuk mempertahankan hidup" sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. "The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life" ("Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.")
Yang mengilhami Darwin tentang hal ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus, jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan hidup berarti "perang tanpa henti".
Menurut Darwin buku Malthuslah yang mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana, berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah. Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan sebuah teori yang dapat saya pakai.2
Pada abad ke-19, gagasan Malthus telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum dalam artikel The Scientific Background of the Nazi "Race Purification" Programme (Latar Belakang Ilmiah Program "Pemurnian Ras" oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan "masalah kependudukan" yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: "Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat," dan seterusnya, dan seterusnya.3

Thomas Malthus adalah tokoh yang mempengaruhi pemikiran Darwin. Ia mengemukakan bahwa peperangan dan kekurangan pangan menekan pesatnya pertumbuhan penduduk dunia.
Akibat kebijakan biadab ini, yang kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup, dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di Inggris pada abad ke-19, program "penjejalan orang-orang miskin" ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang "perjuangan untuk mempertahankan hidup" yang dianggap penting dalam teori Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua tanaman, binatang, danmanusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban dalam "perjuangan untuk mempertahankan hidup."
Karena alasan inilah teori Darwin mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya. Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan yang mendasari adalah semboyan "perjuangan untuk bertahan hidup" dan "kelangsungan hidup bagi yang terkuat"; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.
Darwin sendiri menganjurkan agar pandangannya yang didasarkan pada evolusi diterapkan pada pemahaman tentang etika dan ilmu-ilmu sosial. Darwin mengatakan berikut ini kepada H.Thiel dalam sebuah surat pada tahun 1869:
Anda akan segera meyakini betapa tertariknya saya ketika mendapati bahwa dalam masalah-masalah moral dan sosial anda menerapkan pandangan-pandangan yang serupa dengan yang telah saya gunakan dalam masalah perubahan spesies. Awalnya tidak terpikirkan dalam diri saya bahwa pandangan-pandangan saya dapat diperlebar ke bidang-bidang yang demikian luas, berbeda, dan paling penting.4
Dengan diterimanya pula gagasan "pertikaian di alam" dalam kehidupan manusia, peperangan dengan mengatas-namakan rasisme, Fasisme, Komunisme, dan imperialisme, dan tindakan golongan kuat untuk menindas orang-orang yang mereka anggap lebih lemah, kini terbungkus dengan topeng ilmiah. Sejak saat itu, mustahil menyalahkan atau menghalangi mereka yang melakukan pembantaian biadab, yang memperlakukan manusia layaknya binatang, yang mendorong pertikaian di antara sesama, yang merendahkan orang lain karena ras mereka, yang mematikan usaha kecil dengan dalih kompetisi, dan yang enggan membantu orang miskin. Sebab mereka melakukan ini semua sesuai dengan hukum alam yang "ilmiah".
Penjelasan ilmiah baru ini dikenal dengan nama "Darwinisme Sosial".

Salah seorang ilmuwan evolusionis terkemuka zaman kita, paleontolog Amerika, Stephen Jay Gould menerima kebenaran ini dengan menuliskan bahwa, menyusul penerbitan buku The Origin of Species pada tahun 1859, "alasan yang kemudian dipakai untuk membenarkan perbudakan, penjajahan, pembedaan ras, pertikaian antar kelas masyarakat, dan peran jenis kelamin dikemukakan dengan dukungan utama dari ilmu pengetahuan."5

PENINDASAN DI SELURUH DUNIA
Munculnya Darwinisme menjadikan kebohongan bahwa "pertikaian dan peperangan merupakan fitrah dalam diri manusia" diterima secara ilmiah. Akibatnya sungguh mengenaskan: di banyak tempat di dunia, peperangan, pembunuhan, dan kebiadaban dibungkus dengan menggunakan kedok 'ilmiah'. Demikianlah abad ke-20 menjadi abad yang penuh penderitaan dan kebiadaban.
Ada satu hal sangat penting untuk diketahui disini. Di setiap kurun sejarah manusia, terjadi peperangan, kekejaman, kebiadaban, rasime, dan pertikaian. Tetapi, di setiap masa selalu ada agama wahyu yang mengajarkan manusia bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, dan mengajak mereka kepada perdamaian, keadilan, dan ketentraman. Oleh karena manusia mengetahui ajaran agama wahyu ini, mereka setidaknya memahami kekeliruan mereka ketika terjerumus kepada tindak kekerasan.
Tapi sejak abad ke-19, Darwinisme menyatakan bahwa perseteruan dan ketidakadilan demi memperebutkan keuntungan, memiliki unsur pembenaran ilmiah bagi mereka, dan mereka juga mengatakan bahwa semua ini merupakan bagian dari sifat fitrah manusia, bahwa dalam dirinya manusia memiliki kecenderungan bertindak biadab dan agresif yang merupakan peninggalan dari oleh nenek moyangnya, dan seperti halnya dengan binatang yang terkuat dan paling agresif akan bertahan hidup, hukum yang sama ini berlaku pada manusia. Di bawah pengaruh pemikiran ini, peperangan, penderitaan, dan pembantaian mulai terjadi di banyak tempat di seluruh dunia. Darwinisme mendukung dan mendorong semua pergerakan yang mendatang-kan penderitaan, pertumpahan darah, dan penindasan kepada dunia. Paham ini memperlihatkan berbagai tindakan tersebut sebagai hal yang masuk akal dan dapat dibenarkan, dan medukung semua penerapannya. Karena adanya dukungan ilmiah ini, ideologi berbahaya lainnya bermunculan dan tumbuh semakin kuat, dan hasil yang didapat adalah "abad penderitaan" pada abad ke-20.
Dalam bukunya "Darwin, Marx, Wagner" profesor sejarah Jacques Barzun menyelidiki penyebab ilmiah, sosiologis, dan budaya dari kehancuran moral dahsyat yang menimpa dunia modern. Pernyataan dari buku Bazrun ini sungguh menarik jika dilihat dari sudut pandang pengaruh Darwinisme terhadap dunia:
... di setiap negeri Eropa antara tahun 1870 dan 1941 terdapat golongan pro-peperangan yang menuntut persenjataan, golongan individualis yang menuntut kompetisi tanpa belas kasih, golongan imperialis yang menuntut penjajahan atas masyarakat terbelakang, golongan sosialis yang menuntut kekuasaan, dan kelompok rasialis yang menuntut pembersihan internal dari orang-orang asing - kesemuanya ini, ketika dalih keserakahan dan ketenaran telah gagal, atau bahkan sebelumnya, menyebut nama Spencer dan Darwin, yang boleh dikatakan sebagai penjelmaan ilmu pengetahuan... Ras adalah sesuatu yang biologis, yang berkaitan dengan masalah sosiologi, dan juga berhubungan dengan Darwin.6

PENDERITAAN DAN KESENGSARAAN
Menurut Darwinisme Sosial, kaum lemah, miskin, berpenyakit, dan terbelakang sepatutnya dimusnahkan dan disingkirkan tanpa belas kasih. Para penganut paham ini meyakininya sebagai keharusan demi keberlangsungan evolusi umat manusia. Salah satu sebab mengapa di abad ke-20 tidak ada yang sudi mendengar jerit tangis jutaan manusia yang meminta pertolongan, dari Bosnia hingga Ethiopia, adalah ideologi yang dipaksakan secara luas ke masyarakat ini.

Di abad ke-19, ketika Darwin mengajukan pernyataannya bahwa mahluk hidup tidak diciptakan, melainkan telah muncul secara kebetulan, dan bahwa manusia mempunyai nenek moyang yang sama dengan binatang, dan telah muncul sebagai makhluk hidup yang paling berkembang dan maju sebagai hasil peristiwa kebetulan, mungkin kebanyakan orang tidak dapat membayangkan apa akibat dari pernyataan ini. Tetapi di abad ke-20, dampak dari pernyataan ini tampak nyata dalam wujud berbagai pengalaman yang sungguh mengerikan. Mereka yang melihat manusia sebagai binatang yang telah berkembang, tidak ragu untuk bangkit dengan menginjak-injak yang lemah, mencari jalan untuk memusnahkan yang sakit dan lemah, dan melakukan pembantaian untuk menghapuskan ras yang mereka anggap berbeda dan lebih rendah. Semuanya terjadi karena teori mereka yang berkedok ilmu pengetahuan ini mengatakan kepada mereka bahwa ini adalah "hukum alam."

Jacques Barzun, profesor sajarah yang menulis buku "Darwin, Marx, Wagner,"
Bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia bermula dengan cara yang demikian ini, dan dengan cepat tersebar ke seluruh dunia. Sebaliknya, pada abad ke-19, hingga saat materialisme dan atheisme tumbuh semakin kuat dengan dukungan yang mereka dapatkan dari Darwinisme, kebanyakan masyarakat percaya bahwa Tuhan menciptakan semua mahluk hidup dan bahwa manusia, tidak seperti mahluk hidup lainnya, memiliki ruh yang diciptakan Tuhan. Berasal dari ras atau suku bangsa manapun, setiap manusia adalah seorang hamba yang diciptakan oleh Tuhan. Namun, redupnya keimanan terhadap agama yang diakibatkan, dan diperparah, oleh Darwinisme, memunculkan kelompok-kelompok masyarakat dengan cara pandang kompetitif dan tanpa mengenal belas kasih, tidak mengindahkan pentingnya moral, memandang manusia sebagai binatang yang telah berkembang maju.
Orang-orang yang mengingkari kewajiban mereka kepada Tuhan memunculkan pola hidup di mana segala sikap yang mementingkan diri sendiri dapat dibenarkan. Dari pola hidup ini lahirlah banyak paham, dan masing-masing paham ini, dalam penerapannya pada kehidupan dunia yang sesungguhnya, menjadi malapetaka bagi manusia.
Di halaman-halaman berikutnya, kita akan mempelajari beragam ideologi yang mendapatkan pembenaran dari Darwinisme tersebut, hubungan erat antara ideologi-ideologi ini dengan Darwinisme, dan penderitaan yang harus ditanggung dunia akibat persekutuan ini.
  1. Geliat Aksi Para “Pemakan Bangkai”
  2. Bagai Dua Sisi Mata Uang

Share
|




Sultan Shalahuddin Al Ayyubi

Siap menerima tantangan dari Nasrani Eropa.



Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

namanya telah terpatri di hati sanubari Kaum Muslimin yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan Tentara Salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh Benua Eropa. Maka sudah sepantasnya kita membicarakan tentang beliau dalam satu bab tersendiri. Sebab, apabila disebutkan tentang Perang Salib, maka nama beliau tidak akan terlupakan sebagai pahlawan perang dari pihak Islam yang paling berjasa.

Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: الأيوبيصلاح الدين, Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) atau Saladin (biasa disebut oleh orang Barat) (1137 – 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang Muslim Kurdi dari Tikrit (daerah Utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasty Ayyubiyah di Mesir yang wilayah kekuasaannya meliputi Suriah, sebagian Yaman, Irak, Hijaz dan Diyar Bakr.
Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang kesatria, bijaksana dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar ini. Rasa tanggung jawab terhadap agama Islam telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan Tentara Salib ke Tanah Suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard The Lionheart dari Inggris. Disamping sebagai panglima perang, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga adalah seorang ulama, beliau banyak memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M yaitu sekitar hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Atabek (gubernur) Kerajaan Saljuk untuk kota Mousul, Irak. Pendidikan dari ayah dan pamannya ini telah memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin.
Ketika Imaduddin Zanky berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Penguasa Syiria (Suriah) Nuruddin Mahmud (Nuruddin Zanky). Selama di Balbek inilah Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah Damaskus dikuasai Nuruddin Zanky, beliau melanjutkan pendidikannya di sana untuk mempelajari agama Islam Sunni selama sepuluh tahun.
Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Salib atau menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pada tahun 549 H/1154 M maka keduanya ayah dan anak ini telah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya, Asaduddin Syirkuh melawan Tentara Salib, beliau dan pamannya berhasil mengusir mereka dari Mesir pada tahun 559-564 H/ 1164-1168 M.
Mencapai Kekuasaan
Paman Shalahuddin, Asaduddin Syirkuh adalah seorang jenderal yang gagah berani, beliau merupakan komandan Angkatan Perang Syiria yang telah memukul mundur Tentara Salib baik di Syiria maupun di Mesir. Syirkuh memasuki Mesir pada bulan Februari 1167 M dan menghadapi perlawanan Shawar, seorang Wazir (Perdana Menteri) Khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan Tentara Salib Perancis dari Kerajaan Yerussalem. Hal ini terjadi karena Shawar merasa cemburu terhadap Syirkuh yang semakin populer dikalangan istana maupun masyarakat.
Dengan diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari Pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric I Raja Yerussalem menerima baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asaduddin dengan King Almeric I yang berakhir dengan kekalahan Asaduddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan Shalahuddin dibenarkan kembali ke Damaskus.
Kerjasama Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Mahmud dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentara yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric I terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih tepat dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric I dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan aib sekali.
Panglima Syirkuh dan Shalahuddin terus maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tantangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Wazir Besar Shawar lari dan bersembunyi di sebuah pekuburan. Ia berhasil ditemukan oleh Shalahuddin, kemudian ia ditangkap dan dibawa ke istana serta dihukum mati.
Serbuan Syirkuh yang gagah berani serta kemenangan akhir yang direbutnya atas gabungan Tentara Salib Perancis dari Yerussalem dan tentara Mesir itu memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.
Ibnu Aziz al-Athir menulis tentang serbuan panglima Syirkuh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang bersekutu dengan Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yang optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid. Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al-’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Dinasty Fatimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, pemimpinnya yang resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yang baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan efektif. Di tahun yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yang termasyhur itu juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang wali yang bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Saljuk serta menyatakan diri sebagai sultan untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yang tidak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis dar Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus dengan sebuah pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh Laskar Salib dari Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara Kristen yang menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun.
Merebut Kota Yerussalem

Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yang diduduki Pasukan Salib Templar dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud atau Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yang dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini terkenal dengan nama Battle of Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhiatan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum salib yang sering mengkhianati janji itu dengan mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ini Tentara Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yang tertawan diperlakukan dengan sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak reputasi Salahuddin yang makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ini membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60.000 orang yang terdiri dari Kesatria Templar.


Share
|




POLITIK