Selasa, 16 November 2010

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA



SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
 
LAMBANG KOTA YOGYAKARTA
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 
Februari 1755 yang
ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh
atas nama 
Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : 
Setengah masih 
menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. 
Dalam 
perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah 
Pedalaman 
Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul 
Rachman Sayidin 
Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), 

Pojong, Sukowati,
Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, 
Magetan, Cirebon, 
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, 
Ngawen, Sela, Kuwu,
Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang 

bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram 
yang ada di dalam kekuasaannya itu
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta 
(Yogyakarta). Ketetapan ini
diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang 

disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang 
disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh 
Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. 
Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera 
memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.


Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati 

pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. 
Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari 
tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang 
sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru 

sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan 
nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan 
Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah 
menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan 
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan 
Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi 
tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu


Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX 

dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur 
dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 
September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah 
Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi 
bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.  Dan pada tanggal 30 
Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa 
pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri 
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan 
Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang 

menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan 
Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan 
Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, 
sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap 
berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi 

Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 
1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi 
wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul 
yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai 
daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Daerah 
tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh 

Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari 
Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas.  Hal itu semakin nyata 
dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok 
Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan 
Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang 

kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi 
Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang.  
DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20
orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 
tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD 
dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta 
sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.  Berdasarkan Undang-
undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin 
oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 
dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh 
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil 
Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan 
Sri Paduka Paku Alam VIII.  Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah 
Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana 
terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala 
Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan 

pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah 
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur 
kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan 
bertanggung jawab.  Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta 
diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan 
Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala 
Daerahnya.


Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja
Yogyakarta
Makna Lambang :
  1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan  perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
  2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
    • Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
    • Warna Putih : Simbol Kesucian
    • Warna Merah : Simbol Keberanian
    • Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
  3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
  4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran
    •  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
  1. Perisai : Lambang Pertahanan
  2. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
  3. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
  4. Gunungan : Lambang kebudayaan
    • Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
    • Banteng : Lambang semangat keberanian
    • Keris : Lambang perjuangan
  5. Terdapat dua sengkala
    • Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
    • Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA


Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan 
pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia 
Chinensis Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta


Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta, 
karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang 
sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna 
simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.


Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan 
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan 
kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada 
Kota Yogyakarta



Share
|



Khilafah di Indonesia

Selasa, 16 November 2010

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
 
LAMBANG KOTA YOGYAKARTA
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 
Februari 1755 yang
ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh
atas nama 
Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : 
Setengah masih 
menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. 
Dalam 
perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah 
Pedalaman 
Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul 
Rachman Sayidin 
Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), 

Pojong, Sukowati,
Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, 
Magetan, Cirebon, 
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, 
Ngawen, Sela, Kuwu,
Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang 

bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram 
yang ada di dalam kekuasaannya itu
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta 
(Yogyakarta). Ketetapan ini
diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang 

disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang 
disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh 
Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. 
Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera 
memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.


Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati 

pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. 
Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari 
tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang 
sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru 

sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan 
nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan 
Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah 
menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan 
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan 
Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi 
tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu


Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX 

dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur 
dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 
September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah 
Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi 
bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.  Dan pada tanggal 30 
Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa 
pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri 
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan 
Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang 

menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan 
Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan 
Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, 
sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap 
berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi 

Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 
1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi 
wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul 
yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai 
daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Daerah 
tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh 

Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari 
Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas.  Hal itu semakin nyata 
dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok 
Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan 
Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang 

kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi 
Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang.  
DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20
orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 
tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD 
dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta 
sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.  Berdasarkan Undang-
undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin 
oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 
dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh 
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil 
Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan 
Sri Paduka Paku Alam VIII.  Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah 
Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana 
terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala 
Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan 

pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah 
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur 
kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan 
bertanggung jawab.  Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta 
diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan 
Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala 
Daerahnya.


Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja
Yogyakarta
Makna Lambang :
  1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan  perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
  2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
    • Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
    • Warna Putih : Simbol Kesucian
    • Warna Merah : Simbol Keberanian
    • Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
  3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
  4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran
    •  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
  1. Perisai : Lambang Pertahanan
  2. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
  3. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
  4. Gunungan : Lambang kebudayaan
    • Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
    • Banteng : Lambang semangat keberanian
    • Keris : Lambang perjuangan
  5. Terdapat dua sengkala
    • Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
    • Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA


Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan 
pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia 
Chinensis Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta


Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta, 
karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang 
sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna 
simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.


Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan 
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan 
kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada 
Kota Yogyakarta.
 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoHjnRwmxpSnApJdTTkZ6x8G4cYAjRJsNvDJOdky9KCt2POMFoVNc-eAjXUSjF_IBlhZRZOEBw0lyDasqBjNVqCnm9C9AZgFkaRS_ygYh3oshCCwHk8GedxvYB-u56lmG1fmdoZFuzomE/s200/Tmagazine0318f.jpg



Share
|